2007年7月12日 星期四

Rabu, 11 Juli 2007

Istighfar

Oleh : Wiwik Ariyani


''Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa dan sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang bertaubat.'' (HR Ibnu Majah).

Manusia tidaklah diciptakan seperti malaikat yang selalu taat kepada Allah SWT, dan tidak pula seperti Setan yang selalu berbuat dosa. Hadis di atas menunjukkan manusia pasti pernah berbuat dosa, karenanya istighfar merupakan kewajiban harian yang harus selalu dilakukan setiap manusia.

Semestinya, istighfar tidaklah sekadar ucapan. Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya At-Taubah Ila-llah, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sehingga Allah SWT benar-benar menerima istighfar kita. Pertama, istighfar harus disertai dengan keikhlasan dan niat yang benar, ''Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan, balasan amalan seseorang sesuai dengan apa yang diniatkannya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, istighfar harus dilakukan dalam keadaan suci, baik dari hadas besar ataupun kecil. Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap orang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, maka Allah SWT pasti mengampuninya.'' (HR Bukhari).

Ketiga, ada keselarasan antara hati dan lisan. Janganlah lisan beristighfar akan tetapi hatinya masih ingin terus berbuat dosa. Ibnu Abbas berkata, ''Orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa, sementara ia masih terus menjalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Tuhannya.''

Keempat, hendaknya istighfar dilakukan saat shalat tahajud, karena hal itu akan menambah kekhusyukan, terbebas dari riya dan termasuk waktu mustajab. Firman Allah SWT, ''Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).'' (QS Adz-Dzariaat [51]: 18).

Kelima, lafal istighfar bagusnya sesuai dengan Alquran dan sunah Nabi SAW, karena kita akan mendapat dua pahala sekaligus, pahala mengikuti Alquran dan sunah dan pahala istighfar, Seperti yang dicontohkan Alquran, ''Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.'' [QS Al A'raaf [7]: 23]. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Wallahu a`lam bish-shawab.

2007年7月1日 星期日

Senin, 02 Juli 2007

Menimbang Diri

Oleh : Imron Soleh


Kehidupan di dunia tidak akan bisa lepas dari pengawasan dua malaikat pencatat (kiraman katibin) yang tak pernah lalai mengawasi gerak-gerik dan ucapan kita. Mereka akan selalu menulis dan menghitung sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan. Allah SWT berfirman, ''Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al-Infithar [82]: 10-12)

Sekiranya kita mengetahui sedikit banyak apa yang telah kita lakukan dengan menghitung perbuatan selama berada di dunia, lebih banyak kebaikankah atau keburukan? Imam Ibnul Qayyim berbicara tentang cara muhasabah pada diri pribadi.

Pertama, hendaklah menghitung diri dalam masalah kewajiban, jika ingat masih ada kekurangan, maka hendaknya segera disusul dengan mengqadla atau memperbaikinya. Kemudian setelah itu menghitung diri dalam masalah larangan, jika mengetahui ada larangan yang telah dikerjakan atau diterjang, maka hendaknya segera menyusulnya dengan bertobat dan beristighfar serta banyak melakukan kebajikan-kebajikan. Muhasabah diri dalam hal kelalaian, dilakukan dengan menimbang, jika selama ini telah sering lalai akan tujuan dari penciptaan manusia di dunia, maka harus segera mengingatnya. Selain itu juga selalu ''menghadapkan'' diri kepada Allah.

Langkah selanjutnya adalah menghitung diri dalam hal ucapan, langkah kedua kaki, aktivitas kedua tangan, pendengaran telinga, penglihatan; apa yang dikehendaki dengan semua itu, untuk siapa serta apa tujuan melakukannya. Seluruh ucapan dan perbuatan hendaknya mempunyai dua sisi pertimbangan yang selalu diingat. Pertimbangan untuk siapa berbuat dan bagaimana berbuat. Juga selalu tanyakan pada diri tentang kadar keikhlasan dan mutaaba'ah, yaitu mengikuti tata cara Nabi.

Semoga dengan selalu menimbang diri kita bisa lebih mempersiapkan diri ketika menghadap-Nya. Ibnul Jauzi berkata, ''Sepantasnya orang yang tidak tahu kapan ia akan mati untuk selalu mempersiapkan diri, janganlah ia tertipu dengan usia muda dan kesehatannya.'' Wallahu a'lam bish-shawab.