2007年6月28日 星期四

Jumat, 29 Juni 2007

Membersihkan Ron

Oleh : Nurul Huda Maarif


Dalam hadis riwayat Imam Abu 'Isa al-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, ketika seorang mukmin melakukan sebuah dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, hatinya dibersihkan (dari noda hitam itu). Jika dosanya bertambah, bertambahlah noda hitamnya.'' Itulah ron yang disebutkan Allah SWT dalam Alquran, ''Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu ron (menutup) hati mereka.'' (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).

Dari sabda Rasulullah SAW di atas, kita menangkap beberapa pelajaran penting. Pertama, seorang mukmin tetap berpotensi melakukan dosa. Ini sindiran dari Rasulullah SAW, bahwa kaum mukmin tidak seharusnya bersombong diri dengan menganggap dirinya bersih dan senantiasa terhindar dari dosa.

Kedua, dosa itu laksana ron (noda hitam). Sekali saja seorang mukmin berbuat dosa, noda hitam akan menempel di hatinya. Semakin banyak ia berbuat dosa, semakin banyak pula noda hitam di hatinya. Dan, semakin banyak lagi ia berbuat dosa, hatinya akan tertimbun lumpur noda hitam. Jika hatinya sudah tertimbun lumpur noda hitam ini, cahaya Allah SWT tak akan bisa menembus masuk ke dalamnya. Lantas, matilah hatinya.

Kematian hati ini sesungguhnya 'kiamat spiritual' yang harus dihindari seorang mukmin. Sesungguhnya, pintu kesempatan bertaubat terus terbuka. Inilah nikmat mahabesar yang dianugerahkan Allah SWT. Kendati hambanya banyak berbuat dosa, hingga hatinya tertimbun lumpur ron, tetap saja Allah SWT memberi kesempatan untuk membersihkan diri melalui taubat. Karenanya, manfaatkanlah kesempatan ini selagi napas belum sampai tenggorokan.

2007年6月26日 星期二

Rabu, 27 Juni 2007

Ujub

Oleh : Dudu Badrusalam


Ujub adalah sikap kagum dan membanggakan diri sendiri. Merasa suatu keberhasilan merupakan hasil ilmunya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, ''Ada tiga perkara yang membinasakan, yakni hawa nafsu yang diperturutkan, kekikiran yang dipatuhi, dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya sendiri.'' (HR Ath Thabari)

Ujub membuat seseorang lupa daratan, terjebak dalam riya dan syirik. Allah SWT berfirman, ''Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat, ia berkata, 'sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku'. Sesungguhnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.'' (QS Azzumar [39]: 49).

Pada dasarnya manusia hidup saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Tanpa bantuan orang lain kita tidak bisa menikmati hidup di masyarakat umum. Pemimpin tanpa bantuan bawahannya tidak mungkin bisa menyelesaikan tugas-tugasnya. Orang kaya tidak akan bisa menikmati kemewahan hidup tanpa bantuan orang miskin. Begitu juga sebaliknya, bawahan tidak akan maju tanpa pemimpin. Orang miskin membutuhkan santunan orang-orang kaya.

Allah SWT berfirman, ''Qorun berkata 'sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku'. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya, lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu dipertanyakan kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka.'' (QS Alqasas [28]: 78).

Di sini jelas, Allah SWT menganjurkan kepada kita untuk memiliki sikap rendah hati dan rendah diri di hadapan-Nya. Karena apa yang kita peroleh dan miliki di dunia ini, hanyalah semata-mata ujian hidup dalam memegang keteguhan dan keyakinan iman dalam hati tentang eksistensi Allah Azza Wa Jalla.

Sifat ujub bisa dihindari dengan cara berbagi kebahagiaan dengan sesama, belajar menghargai pendapat dan pekerjaan orang lain, tidak membeda-bedakan derajat dan membiasakan bersikap tawadhuk. Itu semua merupakan wujud syukur kita kepada Allah atas apa yang telah diberikan-Nya.

Sekarang sudah saatnya kita menghilangkan sifat ujub dan mulai menghisab semua yang telah kita perbuat dan bangga-banggakan. Jangan sampai dosa-dosa kita menutupi keberkahan nikmat yang kita peroleh dan miliki. Semoga dengan sikap itu, kita terhindar dari sifat ujub dan menjadikan diri ini lebih peduli dan lebih menghargai sesama.

2007年6月21日 星期四

Jumat, 22 Juni 2007

Pahala yang Mengalir

Oleh : Asep Sulhadi


''Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.'' (HR Muslim).

Hadis di atas menjelaskan amal perbuatan seorang Muslim akan terputus ketika ia meninggal dunia, sehingga ia tidak bisa lagi mendapatkan pahala. Namun, ada tiga hal yang pahalanya terus mengalir walau pelakunya sudah meninggal dunia, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan doa anak shaleh.

Dalam riwayat Ibn Majah, Rasulullah SAW menambahkan tiga amal di atas, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya amal dan kebaikan yang terus mengiringi seseorang ketika meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat, anak yang dididik agar menjadi orang shaleh, mewakafkan Alquran, membangun masjid, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membuat irigasi, dan bersedekah.'' (HR Ibn Majah).

Menurut Imam al-Suyuti (911 H), bila semua hadis mengenai amal yang pahalanya terus mengalir walau pelakunya sudah meninggal dunia dikumpulkan, semuanya berjumlah 10 amal.

Mulai dari ilmu yang bermanfaat, doa anak shaleh, sedekah jariyah (wakaf), menanam pohon kurma atau pohon-pohon yang buahnya bisa dimanfaatkan, mewakafkan buku, kitab atau Alquran, berjuang dan membela Tanah Air, membuat sumur, membuat irigasi, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membangun tempat ibadah dan belajar.

Kesepuluh hal di atas menjadi amal yang pahalanya terus mengalir, karena orang yang masih hidup akan terus mengambil manfaat dari ke-10 hal tersebut. Manfaat yang dirasakan orang yang masih hidup inilah yang menyebabkannya terus mendapatkan pahala walau ia sudah meninggal dunia.

Dari pemaparan di atas, sudah seharusnya kita berusaha mengamalkan 10 hal tersebut atau paling tidak mengamalkan salah satunya, agar kita mendapatkan tambahan pahala di akhirat kelak, sehingga timbangan amal kebaikan kita lebih berat dari pada timbangan amal buruk.

Allah SWT berfirman, ''Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.'' (QS al-A'raf [7]: 8).